Tidak Ada Coat-tail Efect Pada Pileg 2019



KEJUTAN setelah melihat hasil hitung cepat Pemilu Legislatif 2019 adalah tidak adanya coat-tail effect seperti yang digembar-gemborkan lembaga survei.

Coat-tail effect itu semestinya memberikan berkah elektoral bagi PDIP dan Partai Gerindra. Sebab, dua partai tersebut mengusung calon presiden masing-masing. Namun, melihat tren elektabilitasnya, perolehan suara mereka tidak naik signifikan. Hanya 2-3 persen.

Coat-tail effect itu semestinya seperti yang terjadi pada Partai Demokrat dan SBY pada Pemilu 2009. Perolehan suara Partai Demokrat yang awalnya hanya sekitar 7,45 persen pada 2004 langsung melonjak hingga 300 persen. Itulah yang disebut Coat-tail effect. Artinya, SBY mampu menyapu bersih pemilih partai-partai lain. Suara Demokrat yang awalnya tidak seberapa menjadi naik signifikan.

Nah, fenomena seperti Demokrat dan SBY itu tidak ada di 2019. Kalau partai mengalami kenaikan 2-3 persen, itu alamiah saja. Kenaikan tersebut terjadi berkat soliditas tim, soliditas mesin partai, dan mungkin juga karena kerja-kerja caleg di bawah.

Kejutan kedua adalah prediksi bahwa Pileg 2019 akan menjadi kuburan bagi partai-partai Islam. PKS, PAN, dan PPP diprediksi tidak lolos DPR. Kenyataannya, ada kejutan luar biasa dari PKS. Tidak hanya lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold), suara PKS juga naik signifikan.

Mengapa bisa lolos? Menurut saya sederhana. Pertama, PKS secara konsisten memosisikan diri sebagai partai oposisi. Di tengah masyarakat yang terbelah karena pilihan capres, opsinya hanya dua. Kebetulan, sentimen agama saat ini cukup kuat dan publik menemukan PKS.

Itu merupakan buah konsistensi PKS karena rakyat saat ini cenderung melihat sebuah persoalan hitam dan putih. Di sisi lain, sikap politik yang cenderung ke tengah seperti Demokrat dan PAN agak kurang disukai. Cenderung dianggap main aman. Tidak tegas.

Saya melihat, ketika ada sentimen agama, kelompok-kelompok Islam mulai berdenyut di daerah. Melihat PKS sebagai muara. Itulah yang harus dipahami. PKS bisa jadi akan melampaui perolehan suara PKB.

Kenaikan suara PKB justru tidak signifikan. Sekalipun memiliki basis Nahdlatul Ulama (NU) di Jawa Tengah dan Jawa Timur, bahkan memiliki tiga menteri yang langsung berurusan dengan rakyat, nyaris tidak ada Coat-tail effect-nya. Nyaris tidak ada berkah bagi PKB. Bagi saya, itu kejutan ketiga.

Raihan Partai Nasdem menjadi kejutan selanjutnya. Ini bukan Coat-tail effect atau mendapat berkahnya Jokowi. Tapi, kalau dilihat, hampir separo caleg yang diusung Nasdem berstatus caleg petahana dari partai-partai lain. Termasuk banyak mantan kepala daerah yang maju lewat Nasdem. Itulah yang kemudian turut menjelaskan suara Nasdem naik signifikan. Tidak sekadar menjual nama Jokowi.

Pascapileg

Jika melihat komposisi di parlemen pascapileg, dengan perhitungan seperti saat ini, tentu kubu pemerintah akan lebih dominan. Kekuatan pemerintah sekitar 60 persen. Oposisi 40 persen.

Namun, dalam sistem presidensial dengan multipartai seperti sekarang, sekat antara oposisi dan pemerintah nyaris tidak ada. Kecenderungan ada sekat hanya terlihat menjelang pilpres. Setelah pilpres, ada partai yang cenderung menyeberang ke penguasa. Itu terjadi pada Pemilu 2014 saat Partai Golkar, PPP, dan PAN merapat ke Jokowi yang berkonsekuensi pada jabatan menteri.

Apabila hasil hitung cepat pileg sama dengan pilpres, saya menduga, pada periode kedua Jokowi, koalisi akan lebih dinamis. Penyebabnya sederhana. Orang sudah menganggap Jokowi tidak akan maju lagi dalam Pilpres 2024. Jadi, menggantungkan harapan kepada presiden juga tidak terlampau signifikan.

Partai-partai di pemerintahan bisa jadi akan melakukan resistansi dari dalam. Bisa jadi ada sedikit dinamika terhadap kebijakan-kebijakan yang dianggap tidak populis. Misalnya, kenaikan harga BBM, tarif dasar listrik, atau soal impor. Tentu partai-partai di lingkaran penguasa akan melakukan protes.

Mengapa? Sebab, partai-partai itu sedang berusaha merebut simpati rakyat. Terutama untuk menyusun batu bata kekuasaan untuk Pemilu 2024.

Pola seperti itu sudah terjadi pascapemilu 2009. Pada periode kedua SBY, PKS dan Partai Golkar adalah dua partai yang kerap mengkritik presiden dari dalam. Terutama soal kenaikan harga BBM dan tarif listrik. Itu dilakukan demi memoles citra sebagai partai yang peduli rakyat. Saya menyebutnya punya kecenderungan oposisi dari dalam.

Partai mulai genit. Partai mulai berani interupsi dari dalam. Tahun 2024 adalah kontestasi datar atau flat. Tentu semua partai akan berlomba-lomba memosisikan diri mereka ingin merakyat. Di situlah dinamika akan terjadi.


Oleh: Adi Prayitno,  Dosen Ilmu Politik FISIP UIN Jakarta, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia.  Tayang di jawapos.com
Artikel Selanjutnya Artikel Sebelumnya
Belum Ada Komentar :
Tambahkan Komentar
Comment url
Post Terkait :
Opini