Kisah-kisah Wanita Teladan




وَمَنْ يَعْمَلْ مِنَ الصَّالِحَاتِ مِنْ ذَكَرٍ أَوْ أُنْثَى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَأُولَئِكَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ وَلَا يُظْلَمُونَ نَقِيرًا
“Barangsiapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki maupun wanita sedang ia orang yang beriman, maka mereka itu masuk ke dalam surga dan mereka tidak dianiaya walau sedikitpun.” (QS. An-Nisa, 4: 124)

Dalam sirah kita akan menemukan banyak sekali profil muslimah pada masa nabi yang berperan aktif dalam amal shalih. Ada Khadijah yang telah berkorban dengan jiwa dan hartanya di jalan dakwah; ‘Aisyah yang banyak belajar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian mampu mengajarkan ilmunya kepada kaum wanita maupun pria. Adapula sosok-sosok lain yang tercatat dalam sejarah Islam.


Asma Sang Juru Bicara Para Muslimah

Adalah Asma binti Yazid Al-Anshariyah yang menjadi juru bicara kaum muslimah pada masa nabi untuk menyampaikan aspirasi kaum wanita yang begitu bersemangat  ingin memperoleh keutamaan pahala dan tidak ingin ketinggalan oleh kaum laki-laki dalam beramal. Imam Baihaqi menyebutkan kisah Asma’ dalam Syu’abul Iman, diantaranya disebutkan bahwa  ia berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,


إِنَّ اللَّهَ بَعَثَكَ إِلَى الرِّجَالِ وَالنِّسَاءِ، فَآمَنَّا بِكَ وَبِالْهُدَى الَّذِي بَعَثَكَ اللَّهُ بِهِ، وَإِنَّا مَعْشَرُ النِّسَاءِ مَقْصُورَاتٌ، قَوَاعِدُ بُيُوتِكُمْ، وَمَقْضَى شَهَوَاتِكُمْ، وَحَامِلاتُ أَوْلادِكُمْ، وَإِنَّكُمْ مَعْشَرَ الرِّجَالِ فُضِّلْتُمْ عَلَيْنَا بِالْجُمُعَةِ، وَالْجَمَاعَاتِ، وَعِيَادَةِ الْمَرْضَى، وَشُهُودِ الْجَنَائِزِ، وَالْحَجِّ بَعْدَ الْحَجِّ، وَأَفْضَلُ مِنْ ذَلِكَ الْجِهَادُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنَّ الرَّجُلَ مِنْكُمْ إِذَا أَخْرَجَ حَاجًّا أَوْ مُعْتَمِرًا وَمُرَابِطًا، حَفِظْنَا لَكُمْ أَمْوَالَكُمْ، وَغَزَلْنَا أَثْوَابَكُمْ، وَرَبَّيْنَا لَكُمْ أَوْلادَكُمْ، فَمَا نُشَارِكُكُمْ فِي الأَجْرِ يَا رَسُولَ اللَّهِ؟ فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى أَصْحَابِهِ بِوَجْهِهِ كُلِّهِ ، ثُمَّ قَالَ: ” َسَمِعْتُمْ مَقَالَةَ امْرَأَةٍ قَطُّ أَحْسَنَ فِي مَسْأَلَتِهَا عَنْ أَمْرِ دِينِهَا مِنْ هَذِهِ؟ ” قَالُوا: وَاللَّهِ مَا ظَنَنَّا أَنَّ امْرَأَةً تَهْتَدِي إِلَى مِثْلِ هَذَا، فَالْتَفَتَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَيْهَا فَقَالَ: “انْصَرِفِي أَيَّتُهَا الْمَرْأَةُ، وَأَعْلِمِي مَنْ خَلْفَكِ مِنَ النِّسَاءِ أَنَّ حُسْنَ تَبَعُّلِ إِحْدَاكُنَّ لِزَوْجِهَا، وَطَلَبِهَا مَرْضَاتِهِ، وَاتِّبَاعِهَا مُوَافَقَتَهُ، تَعْدِلُ ذَلِكَ كُلَّهُ” . فَأَدْبَرَتِ الْمَرْأَةُ وَهِيَ تُهَلِّلُ وَتُكَبِّرُ اسْتِبْشَارًا

“Sesungguhnya Allah telah mengutusmu kepada kaum laki-laki dan wanita, kami semua beriman kepadamu dan kepada petunjuk yang Allah mengutusmu dengannya. Sesungguhnya ruang gerak kami kaum wanita terbatas oleh bangunan rumah-rumah kalian; kami menjadi tempat kalian melepaskan syahwat; dan mengandung anak-anak kalian. Sedangkan kalian kaum laki-laki memiliki kelebihan atas kami karena shalat jum’at, shalat berjama’ah, mengunjungi orang sakit, mengantar jenazah, melaksanakan haji berkali-kali, dan yang lebih afdhal dari itu adalah jihad di jalan Allah; dan laki-laki di antara kalian apabila pergi berhaji, umrah, atau berjaga di medan perang, sungguh kamilah yang menjaga harta-harta kalian, menjahit pakaian kalian, mengasuh anak-anak kalian. Lalu apakah kami berserikat dengan kalian dalam pahala, wahai Rasulullah?” Mendengar pertanyaan tersebut  Rasulullah kemudian berpaling menghadapkan wajahnya ke sekeliling sahabatnya, lalu bertanya: “Pernahkah kalian mendengar perkataan wanita tentang masalahnya dan agamanya yang lebih baik dari pertanyaan ini?” Para sahabat menjawab, “Demi Allah, kami tidak menyangka kaum wanita akan mengajukan hal seperti ini.” Lalu nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpaling kepada wanita itu dan bersabda, “Pergilah wahai wanita, dan beritahukanlah kepada wanita-wanita di belakangmu, sesungguhnya mematuhi suami dengan sebaik-baiknya bagi seseorang dari kalian, serta mencari keridhoannya dan mengikuti persetujuannya, setara (pahalanya) dengan seluruh apa yang kamu sebutkan (tentang amal-amal kaum lelaki).” Wanita itu kemudian berpaling (dari hadapan Rasulullah) seraya bertahlil dan bertakbir dengan gembira.”


Wanita-wanita yang Sabar dan Tabah

Suatu saat Fatimah tidak makan berhari-hari karena tidak ada makanan, sehingga suaminya, Ali bin Abi Thalib melihat mukanya pucat; Ali bertanya kepadanya, “Mengapa engkau ini, wahai Fatimah, kok kelihatan pucat?” Fatimah menjawab, “Aku sudah tiga hari belum makan, karena tidak ada makanan di rumah.” Ali berkata, “Mengapa engkau tidak bilang kepadaku?” Dia menjawab, “Ayahku, Rasulullah, menasehatiku di malam pengantin, jika Ali membawa makanan, maka makanlah. Bila tidak, maka kamu jangan meminta.”

Ada pula wanita yang diuji dengan penyakit, sehingga dia datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta untuk didoakan. Atha’ bin Abi Rabah bercerita bahwa Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu berkata kepadaku, “Maukah aku tunjukkan kepadamu wanita surga?” Aku menjawab, “Ya.” . Dia melanjutkan, “Ini wanita hitam yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengadu, ‘Saya terserang epilepsi dan auratku terbuka, maka doakanlah saya.’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Jika kamu sabar, itu lebih baik, kamu dapat surga. Atau, kalau kamu mau, saya berdoa kepada Allah agar kamu sembuh.’ Wanita itu berkata, ‘Kalau begitu saya sabar, hanya saja auratku suka tersingkap. Doakan supaya tidak tersingkap auratku.’ Maka, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendoakannya.”


Wanita-wanita di Medan Jihad

Diantara sosok muslimah yang terkenal karena keterlibatannya dalam jihad adalah Nasibah binti Ka’ab yang dikenal dengan nama Ummu Imarah. Dia becerita, “Pada Perang Uhud, sambil membawa air aku keluar agak siang dan melihat para mujahidin, sampai aku menemukan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara, aku melihat pasukan Islam kocar-kacir. Maka, aku mendekati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil ikut berperang membentengi beliau dengan pedang dan terkadang aku memanah. Aku pun terluka, tapi manakala Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terpojok dan Ibnu Qamiah ingin membunuhnya, aku membentengi beliau bersama Mush’ab bin Umair. Aku berusaha memukul dia dengan pedangku, tapi dia memakai pelindung besi dan dia dapat memukul pundakku sampai terluka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bercerita, “Setiap kali aku melihat kanan kiriku, kudapati Ummu Imarah membentengiku pada Perang Uhud.” Begitu tangguhnya Ummu Imarah.

Ada juga Khansa yang merelakan empat anaknya mati syahid. Ia berkata, “Alhamdulillah yang telah menjadikan anak-anakku mati syahid.”

Ketika Utsman bin Affan mengerahkan pasukan untuk melawan manuver-manuver Romawi, komandan diserahkan kepada Hubaib bin Maslamah. Istri Hubaib turut serta dalam pasukan yang akan berangkat perang. Sebelum perang dimulai, Hubaib memeriksa kesiapan pasukan. Tiba-tiba istrinya bertanya, “Dimana aku menjumpaimu ketika perang sedang berkecamuk?”
Hubaib menjawab, “Di kemah komandan Romawi atau di surga.”
Ketika perang sedang berkecamuk, Hubaib berperang dengan penuh keberanian sampai mendapatkan kemenangan. Segera dia menuju ke kemah komandan Romawi menunggui istrinya. Yang menakjubkan, saat Hubaib sampai ke tenda itu, dia mendapatkan istrinya sudah mendahuluinya.


Seuntai Rambut di Jalan Allah

Pada masa Dinasti Abbasiyah dipimipin oleh Harun Ar-Rasyid, ada seorang muslimah disandera oleh tentara Romawi. Maka, seorang ulama bernama Al-Manshur bin Ammar mendorong umat Islam untuk berjihad di dekat istana Harun al-Rasyid dan dia pun menyaksikan ceramahnya. Tiba–tiba ada kiriman bungkusan disertai dengan surat. Surat itu lalu dibuka dan dibaca oleh ulama tadi dan ternyata berasal dari seorang muslimah yang isinya: “Aku mendengar tentara Romawi melecehkan wanita muslimah dan engkau mendorong umat Islam untuk berjihad, maka aku persembahkan yang paling berharga dalam diriku. Yaitu, seuntai rambutku yang aku kirimkan dalam bungkusan itu. Dan, aku memohon agar rambut itu dijadikan tali penarik kuda di jalan Allah agar aku dapat nantinya dilihat Allah dan mendapatkan rahmatnya.” Maka, ulama itu menangis dan seluruh hadirin ikut menangis. Harun Ar-Rasyid kemudian memutuskan mengirim pasukan untuk membebaskan wanita muslimah yang disandera itu.


Kisah Istri Shaleh bin Yahya


Istri Shaleh bin Yahya saat ditinggal suaminya ia hidup bersama dua anaknya. Ia mendidik anak-anaknya dengan ibadah dan qiyamul lail (shalat malam). Ketika anak-anaknya semakin besar, dia berkata, “Anak-anakku, mulai malam ini tidak boleh satu malam pun yang terlewat di rumah ini tanpa ada yang shalat qiyamul lail.”

“Apa maksud ibu?” tanya mereka. Sang Ibu menjawab, “Begini, kita bagi malam menjadi tiga dan kita masing-masing mendapat bagian sepertiga. Kalian berdua, dua pertiga, dan aku sepertiga yang terakhir. Ketika waktu sudah mendekati subuh, saya akan bangunkan kalian.”

Kebiasan ini berlanjut sampai ibu mereka meninggal. Dan amalan itu tetap dilanjutkan oleh dua anak itu karena mereka sudah merasakan nikmatnya qiyamul lail.

Begitulah para wanita pada masa lalu. Mereka lebih banyak berpikir untuk akhiratnya dan tidak terdominasi oleh pikiran-pikiran tentang dunia; rumah tinggal, makanan, minuman, kendaraan, dan lain-lain. Dari kisah mereka kita pun dapat memahami begitu besarnya peran dan tanggungjawab wanita pada masa salafus shalih, mereka tidak pernah berhenti memberikan kontribusi dengan apa yang mereka memiliki.

Hal ini hendaknya menyadarkan muslimah masa kini tentang peran dan tangguh jawabnya di berbagai aspek kehidupannya; baik dalam kehidupan individu, keluarga, masyarakat, dan negaranya.
Artikel Selanjutnya Artikel Sebelumnya
Belum Ada Komentar :
Tambahkan Komentar
Comment url
Post Terkait :
Ummahat