BEKAL MENGHADAPI UJIAN DAKWAH
Kita sebagai dai dan daiyah diperintahkan oleh Allah SWT jika menghadapi sesuatu yang sulit, yang menghimpit, cepat kembali kepada Allah (fafirruu ilallah..). Kemudian selesaikan dengan mentadabburi konsep Allah. “Afala yatadabbarunal Qur’an am ‘ala quluubin aqfaluha.”
Dari tadabur ayat-ayat Allah ini, maka dalam menghadapi berbagai masalah, ancaman dan makar, maka kita harus memiliki bekalan-bekalan yakni:
(1) Atsbatu mauqifan (menjadi orang yang paling teguh pendirian/paling kokoh sikapnya)
At-Tsabat (keteguhan) adalah buah dari kesabaran yang juga harus kita miliki (tsamratus shabr). Karenanya, sifat sabar merupakan sikap yang sudah menyatu (internal) dalam kehidupan dakwah kita. Ingatlah saat Alloh swt mengingatkan kita akan sikap dan sifat orang-orang yang beriman: ..Famaa wahanuu lima ashobahum fii sabiilillahi waaa dhoufu wamastakanuu, innallahu maasshobirin (…mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah. Allah menyukai orang-orang yang sabar (3:146).
Keteguhan itu membuat kita tenang, rasional, obyektif dan mendatangkan kepercayaan Allah untuk memberikan kemenangan kepada kita. Hanya saja, kita perlu memahami bila keteguhan sikap kadang-kadang menimbulkan kekerasan oleh karenanya perlu diimbangi dengan yang sikap kedua.
(2) Arhabu shadran (paling berlapang dada)
Sikap ini bermakna aktif, bukan pasif. Artinya, paling berlapang dada bukan paling banyak mengelus dada. Saat berhadapan dengan pihak yang mencela atau melakukan fitnah sekalipun, kita tidak emosional. Silakan mereka bicara apa pun tetapi silakan buktikan semua yang dibicarakan. Di sinilah kelapangan dada mendorong kita bersikap fleksibel. Karena, jika tidak ada lapang dada akan timbul kekakuan dalam berinteraksi dengan siapa pun.
(3) A’maqu fikran (pemikiran yang mendalam)
Sikap yang menjadi bekal berikutnya adaah A’amqu Fikran (pemikiran yang mendalam). Ini memberi makna dalam setiap peristiwa, kita perlu mendalami apa yang terjadi. Jangan terlarut pada fenomena, tetapi lihatlah ada apa di balik fenomena tersebut. Dengan demikian, ketika kita merespon pun akan objektif. Tak hanya respon-respon kita yang objektif, namun juga terukur, dan mutawazin (seimbang).
Meski demikian, pemikiran yang mendalam kadang-kadang membuat kita terjebak pada hal yang sektoral, maka harus segera diimbangi pula dengan yang bekal keempat:
(4) Ausa’u nazharan (pandangan yang luas)
Temuan sektoral perlu dicari, namun kita perlu memiliki pandangan luas yang mendorong kita untuk bisa memahami persoalan dengan lebih lengkap. Dengan demikian, penyikapan kita pun terhadap persoalan tersebut dapat lebih tepat. Pandangan yang luas menjadi pelengkap akan pemikiran yang mendalam. Pandangan yang luas bisa menjaga kita dari kesalahan-kesalahan yang tak perlu akibat sikap ketergesa-gesaan manakala kita menyikapi sebuah persoalan.
(5) Ansyathu amalan (paling giat dalam bekerja)
Meski demikian, sambil merespon sesuai dengan kebutuhan, kita harus tetap giat bekerja (ansyathu amalan). Dari sini, kita perlu mengelola persoalan secara lebih baik. Orang-orang tertentu saja yang menangani, selebihnya harus terus bergerak dalam kerangka amal jamai. Energi kita harus prioritas untuk membangun bangsa dan negeri ini. Bekerja untuk Indonesia di segala sektor, struktur sampai tingkat desa, dan kader-kader yang mendapat amanah di pemerintahan. Fokuskan semua bekerja.
(6) Ashlabu tanzhiman (paling kokoh strukturnya)
Harus terus kita pahami bahwa kita adalah jamaah manusia, selalu ada kekurangan, ada kesalahan. Kita harus rajin membersihkannya. Seorang muslim ibarat orang yang tinggal di pinggir sungai dan mandi lima kali sehari. Jika sudah begitu, pertanyaannya: “Masih adakah daki-daki kita?”
Kita selalu ingat Allah berfirman “wa qul jaal haq wa zahaqal bathil”. Secara fitrah jika al Haq muncul, maka kebatilan akan lenyap. Oleh karena itu teruslah hadirkan al Haq dan mobilisir potensi kebaikan. Jika kita lengah mendzohirkan al-haq maka kebatilan yang tadinya marjinal akan tampil dan al-haq terbengkalai. Inilah esensi dari hidup berjamaah. Hidup berjamaah adalah untuk memobilisir potensi-potensi kebaikan.
(7) Aktsaru naf’an (paling banyak manfaatnya)
Terakhir, kita harus menanamkan dalam jiwa dan pikiran kita bahwa Khoirunnas anfa’uhum linnas (sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain). Oleh karena itu, tantangan kita bersama adalah membuktikan bahwa jamaah ini banyak manfaatnya sehingga berhak mendatangkan pertolongan Allah dan pertolongan kaum Mukminin.
Ikhwati fillah, jika tujuh hal itu dilakukan untuk menghadapi tantangan dan rekayasa, insya Allah dakwah ini akan semakin kokoh dan semakin diterima untuk menghadirkan kebajikan-kebajikan yang diharapkan oleh seluruh bangsa.
Allohu’alam bisshowab.
(ustdaz KH Hilmi Aminuddin)